BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi disebut pula dengan tasawuf nazhari,
merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional. Tasawuf falsafi menggunakan terminologi falsafi dalam pengungkapan ajarannya. Menurut
At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam
sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad
kemudian.
Ciri umum
tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat
banyaknya istilah khusus yang hanya dapat difahami oleh siapa saja yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang
sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa(dzauq),
tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang
murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih
berorientasi pada panteisme.
Sedangkan
ciri khusus tasawuf falsafi yaitu:
1.
Tasawuf filosofis banya mengonsepsikan pemahaman
ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara pemikiran rasional-filosofis
dengan perasaan(dzauq). Meskipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering
mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyah, tetapi dengan
interpretasi dan ungkapan yang samar-samar dan sulit dipahami orang lain.
2.
Didasarkan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah),
yang maksudkan sebagai peningkatan moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan.
3.
Tasawuf filosofis memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat
realitas, yang menurut pelakunya bisa dicapai dengan fana.
4.
Para penganutnya selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan
tentang hakikat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi
Perlu dicatat, dalam beberapa segi,
para sufi-filosof ini melebihi para sufi sunni. Karena mereka adalah para
teoritis yang baik tentang wujud, kelihaian mereka dalam menggunakan
simbol-simbol, dan kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri
atau ilmunnya.
B.
Objek Utama
Menurut Ibn khaldun, sebagaimana
yang dikutif oleh at-taftazani, dalam karyanya al-muqadimah, menyimpulkan bahwa
ada empat objek utama tasawuf falsafi, yaitu:
a. latihan
rohaniyah dengan rasa, intuisi, serta instroprksi diri yang timbul darinya.
Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan Maqam maupun keadaan (hal),
rohani serta rasa(dzauq). Disini tedapat kesamaan dengan tasawuf sunni.
b. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap
dari alam gaib, seperti sifat-sifat robbani, ‘arty, kursi, malaikat, wahyu,
kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib, maupun yang
tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaannya. Mengenai iluminasi
ini para sufi dan juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan
mematikan kekuatan syhwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan
Dzikir, dengan dzikir menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat
realitas-realitas.
c. Peristiwa-peristiwa
dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan
atau keluarbiasaan.
d. Penciptaan
ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathahiyyat),
yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa menginkarinya,
menyetujui, ataupun menginterpretasikannya dengan interpretasi yang
berbeda-beda.
C.
Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi
1.
Ibn ‘Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali
bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami. Lahir di mercia, Andalusia
Tenggara, spanyol, tahun 560 H. Di Seville(Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an,
hadis, serta fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu
Ibn Hazm Azh-Zhahiri.
Usia 30 tahun, ia mulai berkelana ke
berbagai kawasan Andalusia dan kawasan islam di bagian barat, di antara deretan
guru-gurunya adalah Abu Madyan Al-Ghauts At-Thalimsari dan Yasmin Musyaniyah.
Di antara karya monumentalnya adalah
Al-Futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 pada saat menaikkan ibadah
haji. Karya lainnya adalah Masyahid Al-Asrar, Mathali Al-Anwar AL-Illahiyah
al-Isra ila Maqam Al-Atsana.
Adapun ajaran-ajarannya adalah:
a. wahdat
al-wujud
Wahdat Al-Wujud merupakan ajaran
sentralnya. Namun, istilah tersebut bukan berasal dari dia, tetapi dari ibn
Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran
sentralnya tersebut. Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan
dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai paham tersebut mengatakan
bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh
khalik adalah juga mungkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu,
orang-orang yang mempunyai paham ini juga mengatakan bahwa wujud alam sama
dengan wujud Tuhan, tidak ada perbedaan.
Dari pengertian tersebut, Ibn
Taimiyah menilai ajaran sentral Ibn Arabi dari aspek tyasbihnya (penyerupaan
khalik dan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzihnya (penyucian
khalik). Sebab, kedua aspek tersebut terdapat dalam ajaran Ibn Arabi.
Menurut Ibn Arabi, wujud yang ada
semua ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya wujud khalik pula. Tidak
ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat.adapun jika ada yang
mengira bahwa antara keduanya ada
perbedaan , hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang
terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat
yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu
berhimpun padanya. Hal ini tersimpul dalam ucapan ibn Arabi berikut:
سُبْحَانَ مَنْ اَظْهَرَ الاَشْيَاءَ وَهُوَ عَيْنُهَا
Artinya: “ Maha suci Tuhan
yang telah menjadikan segala sesuatu dan
Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu.”
Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada
hakikatnya adalah wujud allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada
perbedaan antara abid (menyembah)
dengan ma’bud (yang disembah). Perbedaan itu hanya
pada rupa dan ragam hakikat yang satu.
Dalam bentuk lain dapat dijelaskan
bahwa makhluk diciptakan oleh khalik dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan
sebagai sebab dari segala yang berwujud
selain Tuhan. Oleh karena itu Tuhanlah yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan
yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada pada wujud di luar
dirinya, yaitu wujud Tuhan.
Selain itu, Ibn Arabi menjelaskan
hubungan antara Tuhan dan alam. Menurutnya, alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan
alam itu tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karenanya, ala mini
merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan) Tuhan.
Menurutnya, ketika Allah menciptakan
alam ini, ia juga memberiikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam
ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh
karenanya Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan
pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar dari asma dan sifat Allah yang
terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya akan kehilangan makna dan
senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an(kesendirian)-Nya
yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Dalam fushus Al-Hikmah, Ibn Arabi
menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan:
وَمَاالوَجْهُ
اِلَّاوَاحِدٌ , غَيْرَ اا نهُ اِذَ اَنْتَ اَعْدَدْتَ المَرَيا تعَدَّدَا
“Wajah
itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin, ia pun menjadi
banyak.
Untuk memperkuat pendiriannya itu,
Ibn Arabi merujuk sebuah hadis qudsi:
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَاَحْبَبتَ اَنْ اُعْرَفَ
فَخَلَقتَ الخلَقَ فَبِهِ عَرَفُونى
“aku
pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian aku ingin
dikenal, maka Kuciptakan makhluk, lalu dengan itulah mereka mengenal Aku. Se
Selanjutnya, Ibn Arabi menjelaskan
bahwa firman Allah mengandung
pengertian,”Tanzihkanlah Dia,” sedangkan firmannya, mangandung pengertian
“Tyasbihkanlah Dia”.
Dari penjelasan tersebut, jelas
sekali bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dengan alam, dan wujud Tuhan
tidak sama dengan wujud alam.
b. Haqiqah Muhammadiyah
Dari konsep wahdat al-wujud di atas,
muncul lagi dua konsep, yaitu konsep al-hakikat al-Muhammadiyah dan konsep
wahdat al-adyan(kesamaan agama).
Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah
pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut:
·
Tajjalii Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan
tsabitah,
·
Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam
(ta’ayyunat) realitas-realitas
rohaniah, yaitu alam
arwah yang mujarrad.
·
Tanazul pada realitas-realitas nafsiyah, yaitu alam nafsiyah
berpikir.
·
Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang
bukan msiteri, yaitu alam mitsal(ide) atau khayal.
·
Alam materi, yaitu alam indrawi.
Ibn Arabi menjelaskan pula bahwa
terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran hakikat Muhammadiyah
atau Nur Muhammad. Menurutnya tahapan-tahapan proses penciptaan alam dan
hubungannya dengan kedua ajaran tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:
a. Wujud Tuhan
sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada sesuatu
apapun.
b. Wujud hakikat Muhammadiyah
sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan , lalu muncul semua yang
wujud dengan proses tahapan-tahapannya.
Dengan demikian ibn arabi menolak
ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada(cretio ex nihilio). Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan
sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah danamaliah yang
terealisasikan pada diri para nabi semenjak adam sampai Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri
para pengikutnya, kalangan para wali, dan insan
kamil (manusia sempurna). Kadang-kadang ia menyebut hakikat Muhammadiyah
dengan Quthb dan terkadang dengan ruh Al-Khatam
c.
Wahdatul adyan
Adapun yang dimaksud dengan
konsepnya, wahdat al-adyan (kesamaan agama) Ibn Arabi mamandabg bahwa sumber
agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Maka semua agama adalah tunggal
dan semuanya itu kepunyaan Allah.
2.
Ibn Sab’in
Nama lengkapnya adalah Ibn Sab’in
Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad Ibn Nashr. Di lahirkan tahun 614 H di Murcia. Ibn
Sab’in mempunyai asal usul Arab dan juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari
mazhab maliki, ilmu-ilmu logika, dan filsafat. Di antara guru-gurunya adalah
Ibn dhihaq, yang terkenal dengan Ibn Al-Mir’ah (meninggal tahun 611 M),
pensyarah karya al-irsyad. Karena Al-mir’ah wafat sebelum Ibn Sab’in lahir,
maka jelas Ibn Sab’in menjadi muridnya hanya melalui kajiannnya pada
karya-karya ibn mir’ah.
Tahun 640 H, Ibn Sab’in dengan
sebagian muridnya meninggalkan Murcia menuju Afrika Utara.pertama-tama, Ibn
Sab’in menjejakkan kakinya di Ceuta. Di kota Ceuta ini, Ibn Sab’in banyak
menelaah kitab-kitab tasawuf serta memberiikan pengajaran. Pada tahun 6480 H Ibn
Sab’in sampai di kairo. Namun para fuqaha dunia islam mengutus seorang utusan
ke mesir untuk memperingatkan penduduk itu bahwa Ibn Sab’in adalah seorang
atheis yang menyatakan kesatuan khalik dengan makhluk. Kemudian dia pergi ke
Mekah untuk menyiarkan kembali ajarannya.
Ibn Sab’in meninggalkan karya
sebanyak 41 buah, yang menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis.
Sebagian risalahnya telah disunting Abdurrahman Badawi dengan judul Rasa’il Ibn
Sab’in(1965 M), Jawab shahih Shiqilliyah, telah disunting oleh Syaripuddin
Yaltaqiya.
Adapun ajaran-ajaran Tasawufnya adalah
:
a.
Kesatuan mutlak
Ibn Sab’in adalah seorang penggagas
sebuah faham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan faham
kesatuan mutlak. Disebut paham kesatuan mutlak karena paham ini berbeda dari
paham-paham tasawuf yang memberi ruang
lingkup pada pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin dalam suatu bentuk.
Dalam paham ini Ibn Sab’in
menempatkan keTuhanan pada tempat pertama. Wujud allah, menurutnya adalah asal
segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Sementara wujud
materi yang tampak justru dia rujukkan pada wujud mutlak yang rohaniyah. Ibn
Sab’in terkadang menyerupakan wujud dengan lingkaran, porosnya adalah wujud
yang mutlak, sementara wujud yang nisbi alias sempit berada dalam lingkaran.
Pemikiran-pemikiran Ibn Sab’in ini
dia rujukkan dengan dalil-dalil al-qur’an, yang diinterpretasikan secara
filosofis ataupun khusus. Misalnya dalam Q.S. Al-Hadid:13, Q.S. Al-Qhasas:88.
tPöqt ãAqà)t tbqà)Ïÿ»uZßJø9$# àM»s)Ïÿ»oYßJø9$#ur úïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä $tRrãÝàR$# ó§Î6tGø)tR `ÏB öNä.ÍqR @Ï% (#qãèÅ_ö$# öNä.uä!#uur (#qÝ¡ÏJtFø9$$sù #YqçR z>ÎÛØsù NæhuZ÷t/ 9qÝ¡Î0 ¼ã&©! 7>$t/ ¼çmãZÏÛ$t/ ÏmÏù èpuH÷q§9$# ¼çnãÎg»sßur `ÏB Ï&Î#t6Ï% Ü>#xyèø9$# ÇÊÌÈ
Artinya: pada hari
ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang
yang beriman: "Tunggulah Kami supaya Kami dapat mengambil sebahagian dari
cahayamu". dikatakan (kepada mereka): "Kembalilah kamu ke belakang
dan carilah sendiri cahaya (untukmu)". lalu diadakan di antara mereka
dinding yang mempunyai pintu. di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah
luarnya dari situ ada siksa.(QS. Al-Hadid: 13)
wur äíôs? yìtB «!$# $·g»s9Î) tyz#uä ¢ Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4 @ä. >äóÓx« î7Ï9$yd wÎ) ¼çmygô_ur 4 ã&s! â/õ3çtø:$# Ïmøs9Î)ur tbqãèy_öè? ÇÑÑÈ
Artinya: janganlah
kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali
Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu
dikembalikan.(QS.Al-Qashash)
pendapatnya tentang kesatuan mutlak
tersebut, merupakan dasar dari paham khususnya tentang para pencapai kesatuan
mutlak ataupun pengakraban Allah. Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya
yang khusus, yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian. Sosok
pribadi yang dari segi hakikat rohaniahnya justru bersatu dengan nabi, yang
mengendalikan semesta, dan segala sesuatu pun didasarkan padanya.
Orientalis filsafat Ibn Sab’in
terletak pada perbandingan yang ia buat, antara lain alirannya tentang kesatuan
wujud dengan aliran-aliran fuqaha, teolog, filosof maupun sufi.
b. Penolakan
terhadap logika Aristotelian
Pahamnya tentang kesatuan mutlak,
telah membuatnya menolak logika Aristotelian. Oleh karenanya, dalam karyanya
BuddAl-Arif, ia berusaha menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif,
sebagai pengganti logika yang berdasarkan pada konsepsi jamak.
Diantara kesimpulan-kesimpulan
penting Ibn Sab’in dengan logikanya adalah realitas-realitas logika itu alamiah
adanya dalam jiwa manusia, dan keenam kata logika ( genus, species, difference,
proper, sccident, person) yang memberi kesan adanya wujud yang jamak, hanya
sekedar ilusi semata. Ibn Sab’in juga mengembangkan pahamnya tentang kesatuan
mutlak ke berbagai bidang bahasaan filosofis. Misalnya, menurutnya jiwa dan
akal budi tidak mempunyai wujudnya
sendiri. Dan moral menurutnya di tandai
corak kesatuan mutlak.
Yang menarik perhatian dari pendapat Ibn
Sab’in ialah bahwa latihan-latihan rohaniah praktis, yang bisa mengantar pada
moral luhur, tunduk pada konsepsinya tentang wujud seperti zikir seorang
pencapai kesatuan mutlak adalah ungkapan “tidak ada yang wujud selain Allah,”
sebagai ganti “ tidak ada Tuhan selain Allah”. Si pendzikir dalam dzikir ini
sendiri adalah yang dzikir. Sementara tingkatan dan keadaan, yang merupakan
buah dari dzikir, juga tidak keluar dari ruang lingkup kesatuan mutlak tersebut.
3.
Al-Jili
Nama lengkapnya adalah abdul karim
bin Ibrahim Al Jilli. Lahir pada tahun 1365 M, di jillan (Gilan) wafat pada
tahun 1417 M. ia adalah seorang sufi terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya
tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah. Tetapi sebuah sumber mengatakan
bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke india tahin 1378 M. lalu belajar
tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani. Di samping itu, berguru pula
pada Syeh Syarif Isma’il Bin Ibrahim Al-Zabarti
di Zabid (Yaman) tahun1393-1403 M.
Adapun ajaran-ajaran tasawufnya adalah
sebagai berikut:
a. Insan
kamil
Ajaran tasawuf yang terpentingnya adalah
paham insan kamil (manusia sempurna). Menurutnya, insane kamil adalah nuskhah
atau copy Tuhan, seperti yang disebutkan dalam hadis yang artinya:
“Alllah
menciptakan adam dalam bentuk yang Maha Rahman.”
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan
sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insane kamil sebagai suatu
kemestian yang inheren dengan esensinya.
Lebih lanjut al-jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan
dengan insane kamil bagaikan cermin. Insane kamil tidak dapat melihat dirinya,
kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat
diri-Nya, kecuali melalui cermin insane kamil.
Kemudian al-jilli berkata bahwa
duplikasi al-kamal (kesempurnaan)pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia.
Intensitas al-kamal yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad
SAW. Manusia lain, baik nabi ataupun
wali bila dibandingkan dengan nabi Muhammad bagaikan al-kamil(yang sempurna)
dengan al-akmal(yang paling sempurna) atau al-fadil(yang utama) dengan
al-afdhal(yang paling utama).
Menurut Al-berry, konsep insane kamil
al-jilli dekat dengan konsep al-hulul al-hallaj dan knsep ittihad ibn arabi,
yaitu integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari
Nur Muhammad.
b. Maqamat
(Al-Martabah)
Berhubungan dengan insan kamil, Al-Jilli
merumuskan beberapa maqam yang harus di lalui seorang sufi. Dalam istilahnya,
maqam itu disebut Al-Martabah (jenjang/tingkatan), di antaranya adalah :
·
Islam
Islam yang didasarkan pada lima rukun
dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus
dipahami dan dirasakan lebih dalam. Misalnya puasa, menurutnya puasa merupakan
isyarat untuk menghindari tuntutan jemanusiaan agar orang yang berpuasa
memiliki sifat-sifat ketuhanan, yaitu dengan cara mengosongkan jiwanya dari
tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan mengisinya dengan sifat-sifat ketuhanan.
·
Iman
Yakni membenarkan dengan sepenuh
keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar islam. Iman merupakan
tangga pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib dan alat yang membantu
seseorang mencapai maqam yang lebih tinggi.
·
Ash-shalah
Pada tingkatan ini, sorang sufi
mencapai tingkatan ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan perasaan khauf
dan raja. Bertujuan untuk mencapai nuqtah ilaihah pada lubuk hati sehingga
sehingga menaati syariat dengan baik.
·
Ihsan
Menunjukan bahwa seorang sufi
mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dari sifat Tuhan, sehingga dalam
ibadahnya merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya.dengan syarat-syarat harus
bersikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan
ikhlas.
·
Syahadah
Pada tingkatan ini, seorang sufi
iradah yang bercirikan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Mengungat-Nya terus-menerus,
dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi.
·
Shiddiqiyah
Istilah ini menggambarkan mencapai
tingkat hakikat ma’rifat yang diperoleh
secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan haqq al-yaqin. Jadi,
menurutnya seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddiq mampu menyaksikan
hal-hal yang ghaib kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui
hakikat-Nya. Setelah mengalami fana ia memperoleh baqa ilaih. Inilah batas
pencapaian ilmu al-yaqin
Selanjutnya , ketikapenampakan
sifat-sifat terjadi, maka akan diperoleh ma’rifat dzat dari segi sifat. Hal ini
berlangsung terus hingga mencapai ma’rifat dzat dengan dzat. Namun, karena
tidak merasa puas dengan ma’rifat dzat dengan dzat, ia mencoba melepaskan
sifat-sifat rububiyah sehingga pada akhirnya terhiasi dengan sifat-sifat dan
nama Tuhan. Tingkat semacam inilah yang dinamakn haqq al-yaqin.
·
Qurbah
Merupakan maqam yang memungkinkan
seorang sufi dapat menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat
dan nama Tuhan.
Demikianlah maqomat menurut pandangan
al-jili. Dia berpandangan bahwa mengetahui dzat yang maha tinggi itu secara kasyf
ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia di hadapanmu tanpa hulul dan ittihad.
Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan, tidak bisa disamakan. Oleh
karenanya hamba tidak mungkin jadi Tuhan dan tidak mungkin pula sebaliknya.
4.
Ibn Masarah
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Abdullah
Bin Masarrah (269-319 H. ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosof dari
Andalusia. Ia memberiikan pengaruh yang besar
terhadap madzhab Al-Mariyyah. Bersamaan dengan ibn masarrah, di
Andalusia telah muncul tasawuf filosofi. Ia lebih banyak disebut-sebut sebagai filosof dari pada sufi. Pada mulanya ia merupakan penganut sejati
aliran mu’tazilah, lalu berpalingpada mazhab neoplatonisme. Oleh karena itu, ia
di anggap mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani kuno.
Di antara ajaran-ajaran Ibn Masarrah adalah
sebagai berikut:
1. Jalan
menuju keselamatan jiwa adalah menyucikan jiwa,
zuhud dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
Di antara pemikiran ibn masarrah adalah
bahwa jalan keselamatan adalah penyucian diri, kezuhudan, tindakan
mempriotaskan akal atas panca indera dan berusaha kembali kepada cinta
merupakan pokok utama kehadiran manusia di alam semesta. Sebab, dengan cara
itu, berbagai unsure kejadiannya akan bersatu satu sama lainnya, sehingga
terbentuklah suatu kesatuan(al-wahdah) atau seluruh maujud akan berkumpul dalam
kecintaan, kebencian, kasih saying, dan keterpaksaan seperti asalnya. Namun ibn
masarrah menganut pemikiran Plotinus yaitu pemikiran tentang teori emanasi.
Konsep teori emanasi (al-faidh) ibn
masarrah terdiri atas lima unsure, unsure utama adalah unsur ruhani(anasir
ruhaniyyah) berdasarkan konsep hierarkis menurun yang dimulai dengan unsure
pertama tau materi pertam, yakni hakikat mental(al-haqqa’iq adz-dzihniyyah)
pertama atau materi pertama pembentuk planet-planet di alam semesta. Urutan
berikutnya adalah akal, jiwa dan tabiat.
2.
Penakwilan ala phylum atau aliran
ismailiyyah terhadap ayat-ayat al-qur’an
Di antara pemikiran yang di anggap ciri
khas ibn masarrah adalah berpegang teguh pada prinsip penakwilan (ta’wil)
sejalan dengan pemikiran philon iskandar
atau sekte ismailiyyah. Ibn masarrah sangat banyak melakukan penakwilan atas
ayat-ayat al-qur’an dengan corak penakwilan sekte kebatinan. Ia menolak
kebangkitan jasmani di akhirat, menafikan pengetahuan Allah SWT tentang hal-hal
particular kecuali bila sudah terjadi.
3.
Siksa neraka bukanlah dalam bentuk
yang hakikat.
Selain dari ketiga ajaran di atas,
menurut ibnhazm, kebanyakan pengikut ibn masarrah menyebutkan bahwa ibn
masarrah berpendapat kenabian adalah sebuah maqam yang bisa dicapai dengan
usaha. Orang yang telah mencapai puncak kesalihan dan kesucian jiwa, bisa mendapatkan
maqam kenabian. Menurutnya, kenabian pada dasarnya bukanlah sesuatu yang
istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar